Bijak Menggunakan Antibiotik
Hampir semua orang pernah atau bahkan sering minum antibiotik. Masalahnya, obat ini sering digunakan secara keliru.
Di antara berbagai jenis obat, antibiotik mungkin obat yang paling sering diminum tanpa indikasi jelas. Sering kita dapati berbagai penyakit seperti batuk, flu, demam, radang tenggorokan, diare, penyakit kulit, bahkan alergi, dihantam dengan antibiotik. Padahal, sangat mungkin obat ini tidak diperlukan pada kondisi tersebut.
Keadaan ini diperparah kenyataan bahwa antibiotik diperjualbelikan secara bebas di apotek-apotek, bahkan toko-toko obat. Padahal sebetulnya ia termasuk golongan obat keras, yang hanya boleh dibeli di apotek dengan resep dokter.
Resistensi: Masalah Utama
Tidak seperti obat yang lain, antibiotik memang punya keunikan sendiri. Salah satunya adalah aturan harus diminum sampai habis, meskipun pasien sudah merasa sehat.
Antibiotik—misalnya amoxicillin—adalah “senjata rahasia” yang digunakan untuk menumpas bakteri. Meskipun gejala sakit sudah hilang, bukan berati bakteri telah ditumpas sempurna. Sebagai mikroorganisme cerdas, ia punya kemampuan mengubah diri untuk bertahan pada kondisi-kondisi buruk.
Jika tidak ditumpas secara tuntas, bakteri bisa mengenali dan meniru bentuk senjata rahasia tersebut. Lewat mutasi genetik, ia bisa memiliki kemampuan memproduksi enzim betalaktamase.
Adanya enzim ini menyebabkan struktur inti amoxicillin rusak sehingga aktivitasnya sebagai antibakteri hilang. Inilah yang kita kenal sebagai resistensi. Jika bakteri yang telah resisten ini suatu saat menyerang lagi, maka infeksi menjadi lebih sulit dijinakkan. Akibatnya, pemilihan antibiotik pun menjadi lebih sulit.
Sering Dipakai Swamedikasi
Sebetulnya aturan minum seperti ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru buat masyarakat awam. Departemen Kesehatan pernah gencar mengiklannya di televisi.
Namun kenyataannya, pengguna obat sering minum antibiotik hanya sepertiga atau setengah dari yang semestinya. Itupun kadang-kadang dibeli tanpa resep dan tanpa indikasi yang jelas.
Banyaknya fenomena resitensi ini telah membuat para ahli farmakologi khawatir, karena penelitian dan penemuan antibiotik-antibiotik baru dipaksa untuk berpacu dengan banyaknya jenis bakteri baru yang resisten. Sementara di sisi lain, masyarakat awam saat ini dengan enteng membeli antibiotik-antibiotik “kelas berat” semacam ciprofloxacin.
Jika pemakaian antibiotik tetap tak terkendali seperti ini, mungkin beberapa tahun mendatang, antibiotik-antibiotik tertentu hanya akan menjadi snack buat bakteri. Ini yang perlu kita hindari.
Selain bisa menyebabkan resistensi, praktik swamedikasi (pengobatan sendiri) dengan antibiotik yang keliru juga bisa menimbulkan bahaya lain. Contoh klasik tentang ini adalah kasus gigi coklat pada anak-anak akibat pemakaian tetrasiklin.
Tetrasiklin ini punya ikatan kuat dengan kalsium. Jika diminum oleh anak yang masih mengalami pertumbuhan gigi, antibiotik ini bisa merasuk ke badan gigi. Akibatnya, warna gigi bisa menjadi cokelat.
Minum Secara Tepat
Tiap kali mendapat antibiotik, mestinya pasien sudah mendapatkan informasi lengkap dari dokter atau apoteker. Sayangnya, kenyataan tidak selalu demikian. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran pasien untuk bertanya menjadi sesuatu yang sangat penting.
Sebagai contoh, antibiotik golongan tetrasiklin tidak boleh diminum bersama makanan yang kaya kalsium, misalnya susu, dairy product, suplemen kalsium, atau obat mag. Adanya kalsium menyebabkan tetrasiklin terikat, sehingga penyerapannya di saluran cerna ikut menurun.
Singkat kata, sebelum minum antibiotik, kenali dulu sifat-sifatnya, supaya pengobatan aman dan efektif. (sol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar